Sudut Pandang Lain dari Timun Mas
Juni 20, 2020"Apa aku salah?"
Raksasa bertanya, pelan. Setangkup getir begitu terasa dalam suaranya. Aku menggenggam jari-jariku, memikirkan kalimat yang tepat untuk menjawab.
"Aku hanya menagih janji. Kau tau itu, kan?"
Ia bertanya lagi. Kali ini, ada genangan yang beriak di pelupuk matanya ketika menatapku. Aku tau, sebait bisik dalam hatiku mengatakan ia seharusnya memang tidak salah. Tapi masalah ini ... terlalu banyak dilema didalamnya.
Simbok yang bertahun-tahun mendambakan anak, begitu bersuka-cita ketika Raksasa hendak membantu. Kemudian tanpa berpikir panjang, menyanggupi syarat yang diberikan. Meminta Simbok untuk berpisah dengan seseorang yang telah dicintainya, tentu bukan perkara mudah. Ego adalah salah satu yang sulit dilepaskan dari diri manusia. Timun Mas pun tidak salah, ketika yang ia lakukan adalah memperjuangkan nyawanya dan kembali ke rumah.
Raksasa? Seperti yang ia katakan sebelumnya, hanya ingin menagih janji. Meminta sesuatu yang Simbok telah iyakan untuk menjadi haknya. Raksasa tidak menyerang tanpa alasan.
---------------------------------¤---------------------------------
Malam makin menua, bulan berkabut, dengan bintang temaram disisinya. Aku masih belum bisa menemukan kata yang tepat untuk menghibur Raksasa. Melirik pada lengan Raksasa, kuputuskan kembali kedalam rumah, menarik laci nomor 2 dikamar, lantas mengambil kotak penawar luka.
Raksasa masih terdiam dalam duduknya, diantara angin yang berkejaran dengan waktu. Kubiarkan ia tenggelam dalam pikirannya, sembari perlahan kuusapkan ramuan obat disekujur tubuhnya. Dalam beberapa hari, luka-luka ditubuhnya akan sembuh. Tapi bagaimana dengan luka dihatinya?
Pikiranku turut berkelana bersama angin. Semestinya, tiada janji yang dibuat jika sekiranya tak sanggup menepati.
1 komentar
Jangan lupa kunjungi blog saya
BalasHapus